Walk In Silence

In the silences I found you, beneath the highlight.

Come to see you just to know you, day by day.

Jam tanganku menunjukkan pukul 20.10.  Tidak biasanya dia selama ini ─ sepuluh menit ─ di dalam sana.  Kucoba menengok ke dalam.  Ternyata dia masih berbicara dengan temannya.  Tanpa kusadari, seseorang telah berada di belakangku.

“Cari siapa, Mbak?”

Aku kaget dan buru-buru menjawab.

“Eh, nggak cari siapa-siapa kok.  Cuma…  Cuma mau liat-liat.” kataku gelagapan.

“Oh…  kenapa nggak masuk ke dalam aja?”

“Eh, nggak usah…”

Tiba-tiba kulihat dia ─ orang yang kuperhatikan dari tadi ─ menuju pintu keluar.  Sontak aku langsung membalikkan badan dan mengambil langkah seribu, menjauh dari situ.  Orang yang bertanya padaku tadi kebingungan.  Ah, biarkan saja.  Yang penting aku tidak terlihat oleh dia dulu.

“Jum’at main lagi ya!” dia berkata kepada temannya dengan melambaikan tangan.

Setelah merasa dia agak jauh, kubalikkan badanku lagi.  Huf…  Hampir saja…

¤¤¤

Mungkin kalian pikir aku ini aneh, mungkin juga kalian merasa sama sepertiku.  Kenapa begitu?  Karena sudah sebulanan ini aku melakukan hal yang mungkin sebagian besar dari kalian melakukannya.  Ya, sudah sebulanan ini aku mengikutinya, kemanapun ia pergi.  Bahasa kerennya, stalker.  Atau stalking?  Yah, apapun itu sebutannya.  Pokoknya aku mengikuti setiap gerak-geriknya.  Aneh?  Atau mungkin creepy?  Terserah, tetapi aku yakin banyak orang di dunia ini yang melakukannya.

Seperti malam ini, malam Rabu, dia ada jadwal main futsal bersama teman-temannya, hari Jum’at juga.  Aku sudah hafal jam berapa dia mulai main dan jam berapa dia selesai.  Tapi malam ini ─ seperti yang kalian lihat ─ dia keluar dari arena futsal agak telat.  Pasti karena dia tadi berbincang dengan temannya.  Tentang apa ya?  Apa dia punya rencana besok dengan temannya itu?  Kerja kelompok?  Jalan-jalan?  Kencan buta?  Ah!  Aku ingin tahu apa yang akan dia kerjakan besok!

¤¤¤

Aku tidak sekelas dengannya.  Tapi kelas kami berdekatan.  Karena itu aku mempunyai kesempatan untuk sekedar melirik-lirik mencari sosoknya setiap kali keluar kelas.  Kalau ditanya kenapa aku tidak menyapanya saja, berkenalan dengannya, mungkin aku akan berkata, “Hei!  Bukan stalker namanya kalau sudah berkenalan!”

Baiklah, itu sangat tidak penting.

¤¤¤

It’s me on your side, but you can’t see me.

And my voice is around you, but you can’t hear me.

I’m walk in the silence of you.

 

Walaupun kami tidak pernah bertemu langsung, tapi aku sudah tahu namanya.  Tentu saja, itu keahlian stalker, bukan?  Ngomong-ngomong, kok aku bangga sekali ya menjadi stalker?  Biarlah.  Sekarang pikiranku fokus mencari sosoknya di antara teman-teman sekelasnya.  Aku memang sengaja izin ke kamar kecil untuk bisa mampir ke kelasnya sebentar.  Kok dia nggak ada?  Apa dia izin ke kamar kecil juga, ya?  Atau mungkin di UKS, sakit?  Atau mungkin dipanggil guru BK?  Atau mungkin…

“Hei, cari siapa?”

Jantungku terasa berhenti.  Suara itu, aku mengenali suara itu.  Dengan hati berdebar kubalikkan tubuhku.  Benar saja, dia sudah ada di belakangku.  Aku tidak percaya, tubuhku kaku.  Mungkin ini adalah lima detik paling mendebarkan dalam hidupku.  Mata kami saling bertubrukan!  Astaga!  Untung saja aku dapat mengendalikan diriku dan membalas pertanyaannya.

“Mau cari, itu…  Mau cari Nadin…” kataku mati-matian mempertahankan nada suaraku agar tak gemetaran.

“Wah, Nadin hari ini nggak masuk.  Dia sakit.” katanya dengan wajah yang polos.

Ugh…  Aku sebenarnya cari kamu!  Kataku dalam hati.

“Oh, sakit toh…  Sakit apa ya?” kutanya dia.  Ini kesempatan bagus agar bisa berkenalan dengannya.

“Dia sakit demam.  Emang ada apa nyari dia?” katanya lagi.

“Eh, nggak ada.  Cuma mau minjem novel.”

“Oh…” dia manggut-manggut.

Gawat!  Tampangnya manis sekali!  Kurasakan hatiku berdebar tidak karuan.  Buru-buru aku pamit dari hadapannya.

“Ya sudah kalau begitu.  Aku balik ke kelas dulu.” kulewati dia dengan menunduk.

“Kamu suka bola, ya?” tiba-tiba dia bertanya sebelum aku sempat pergi.

Hah?  Maksudnya?  Apa dia ingin mengajakku nonton bola?

“Eh, nggak juga sih.  Memangnya kenapa?”

“Ya, aku kira kamu suka bola.  Soalnya aku sering liat kamu di arena futsal, yang di jalan Diponegoro itu.”

Waduh, sial!  Kok dia bisa tahu kalau aku sering ke situ?  Lebih tepatnya, sering mengikutinya.  Jangan-jangan dia juga sudah sadar kalau aku ikuti.

“Oh…  Itu…  aku seneng aja liat orang maen futsal.  Kebetulan rumahku juga deket situ.” Aku berusaha tenang.

“ Oh gitu…  Oh iya, Jum’at besok aku ada tanding futsal.  Kamu mau nonton?” tidak ada angin, tidak ada hujan, dia tiba-tiba menawariku.

“Engg…  Boleh deh, mumpung aku juga lagi free Jum’at besok.” kataku berusaha menyembunyikan kegembiraanku.

“Oke kalau gitu.  Jum’at jam setengah empat.” katanya dengan senyum.

Waw…  Aku merasakan kakiku lemas!  Kubalas dia dengan senyum, lalu beranjak pergi.

“Eh, nama kamu siapa?” dihentikannya lagi langkahku.

“Sani.”

“Aku Reno.” kembali ia tersenyum.

Ya, aku sudah tahu.  Greno Erta Wijaya, sosok lelaki yang ingin selalu kutahu semua tentang dirinya.  Mungkin kau baru mengenalku sekarang, tapi aku sudah mengenalmu jauh sebelum ini.  Aku sudah mengenal suaramu dan sering menyuarakan namamu di setiap alunan lagu yang kunyanyikan.  Aku telah menelusuri jalan yang sama dengan jalan yang telah kau telusuri.

¤¤¤

Homogenic – Walk In Silence

 

In the silences I found you

Beneath the highlight

Come to see you just to know you

Day by day

 

It’s me on your side

But you can’t see me

And my voice is around you

But you can’t hear me

And it’s me on your side

But you can’t see me

I’m walk in the silence of you

 

Life is colorful but you said

It’s all plain

Save the reason why I’m still here

Hoping you

Missing you

 

It’s me on your side

But you can’t see me

And my voice is around you

But you can’t hear me

And it’s me on your side

But you can’t see me

I’m walk in the silence of you

 —————————————————————————————————–

Cerpen ini juga dapat dibaca di ngomik.com

6 thoughts on “Walk In Silence

Leave a comment